Gelombang De-Dollarization Menguat di Asia, Tantang Hegemoni Dolar AS dalam Perdagangan Internasional

Tren de-dollarization atau pengurangan ketergantungan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin menguat di kawasan Asia, didorong oleh kombinasi faktor geopolitik, fluktuasi nilai tukar, dan biaya lindung nilai yang meningkat. Negara-negara di Asia, termasuk anggota BRICS dan ASEAN, kini secara aktif memperluas penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan bilateral maupun multilateral, menantang dominasi dolar dalam sistem keuangan dan perdagangan global yang telah berlangsung selama puluhan tahun.

Dolar Melemah, Negara Asia Ambil Langkah Mandiri

Mata uang dolar AS tercatat melemah lebih dari 9 persen terhadap sekeranjang mata uang utama dunia sepanjang semester pertama 2025. Kondisi ini dimanfaatkan negara-negara Asia untuk mempercepat adopsi mata uang lokal dalam penyelesaian transaksi lintas negara. Melalui mekanisme bilateral dan regional, termasuk kesepakatan tukar-menukar mata uang antar bank sentral, negara-negara Asia memperkuat posisi keuangan masing-masing dan meminimalkan risiko nilai tukar akibat dominasi dolar.

Kebijakan ini juga merupakan bentuk respons terhadap ketegangan dagang dan sanksi ekonomi yang kerap dilayangkan AS, serta upaya kawasan Asia untuk membangun sistem keuangan yang lebih tangguh dan tidak mudah terpengaruh oleh kebijakan moneter AS.

BRICS dan ASEAN Jadi Motor Penggerak

Koalisi ekonomi BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan), bersama mitra baru seperti Indonesia dan Iran, telah menjadi penggerak utama de-dollarization. Mereka mempromosikan penyelesaian transaksi lintas negara menggunakan mata uang masing-masing, termasuk yuan Tiongkok, rubel Rusia, dan rupee India. Di sisi lain, ASEAN juga mempercepat peluncuran kebijakan Local Currency Transaction (LCT) yang memungkinkan perdagangan intra-Asia dilakukan tanpa konversi ke dolar.

Menurut analis pasar, strategi ini tidak hanya mengurangi ketergantungan terhadap dolar, tetapi juga memperkuat cadangan devisa domestik dan memperkecil eksposur terhadap tekanan ekonomi eksternal.

Kasus Taiwan Soroti Dampak Nyata

Salah satu contoh paling nyata terjadi di Taiwan. Dalam dua hari terakhir, nilai tukar dolar Taiwan melonjak lebih dari 10 persen. Kenaikan ini dipicu oleh meningkatnya biaya lindung nilai (hedging) atas dolar AS yang kini mencapai dua digit. Perusahaan-perusahaan asuransi jiwa Taiwan, yang mengelola aset dalam mata uang asing senilai lebih dari US$700 miliar, mulai mengurangi eksposur mereka terhadap dolar karena risiko dan biaya yang tinggi.

Fenomena ini menunjukkan bahwa de-dollarization tidak lagi sekadar wacana, melainkan menjadi kebutuhan strategis di tengah ketidakpastian ekonomi global dan tingginya volatilitas pasar valuta asing.

Dampak Global dan Prospek ke Depan

Tren de-dollarization bukanlah fenomena baru. Gelombang pertama dimulai pada 2014 ketika Rusia mulai menjual kepemilikan obligasi AS sebagai respons atas sanksi terkait krisis Crimea. Kini, langkah serupa diambil oleh Tiongkok, India, dan berbagai negara di Asia Tenggara. Selain mendorong penggunaan mata uang lokal, negara-negara ini juga meningkatkan perdagangan dengan sistem barter, digital currency, dan platform keuangan alternatif berbasis blockchain.

Dampak jangka panjang dari tren ini diperkirakan akan menggeser tatanan keuangan global dari sistem unipolar berbasis dolar menuju sistem multipolar, di mana tidak ada satu mata uang yang mendominasi secara absolut. Hal ini akan menciptakan dinamika baru dalam geopolitik dan ekonomi global, serta memperkuat posisi Asia sebagai pusat pertumbuhan baru dunia.

Tren de-dollarization atau pengurangan ketergantungan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin menguat di kawasan Asia, didorong oleh kombinasi faktor geopolitik, fluktuasi nilai tukar, dan biaya lindung nilai yang meningkat. Negara-negara di Asia, termasuk anggota BRICS dan ASEAN, kini secara aktif memperluas penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan bilateral maupun multilateral, menantang dominasi dolar dalam sistem keuangan dan perdagangan global yang telah berlangsung selama puluhan tahun.

Dolar Melemah, Negara Asia Ambil Langkah Mandiri

Mata uang dolar AS tercatat melemah lebih dari 9 persen terhadap sekeranjang mata uang utama dunia sepanjang semester pertama 2025. Kondisi ini dimanfaatkan negara-negara Asia untuk mempercepat adopsi mata uang lokal dalam penyelesaian transaksi lintas negara. Melalui mekanisme bilateral dan regional, termasuk kesepakatan tukar-menukar mata uang antar bank sentral, negara-negara Asia memperkuat posisi keuangan masing-masing dan meminimalkan risiko nilai tukar akibat dominasi dolar.

Kebijakan ini juga merupakan bentuk respons terhadap ketegangan dagang dan sanksi ekonomi yang kerap dilayangkan AS, serta upaya kawasan Asia untuk membangun sistem keuangan yang lebih tangguh dan tidak mudah terpengaruh oleh kebijakan moneter AS.

BRICS dan ASEAN Jadi Motor Penggerak

Koalisi ekonomi BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan), bersama mitra baru seperti Indonesia dan Iran, telah menjadi penggerak utama de-dollarization. Mereka mempromosikan penyelesaian transaksi lintas negara menggunakan mata uang masing-masing, termasuk yuan Tiongkok, rubel Rusia, dan rupee India. Di sisi lain, ASEAN juga mempercepat peluncuran kebijakan Local Currency Transaction (LCT) yang memungkinkan perdagangan intra-Asia dilakukan tanpa konversi ke dolar.

Menurut analis pasar, strategi ini tidak hanya mengurangi ketergantungan terhadap dolar, tetapi juga memperkuat cadangan devisa domestik dan memperkecil eksposur terhadap tekanan ekonomi eksternal.

Kasus Taiwan Soroti Dampak Nyata

Salah satu contoh paling nyata terjadi di Taiwan. Dalam dua hari terakhir, nilai tukar dolar Taiwan melonjak lebih dari 10 persen. Kenaikan ini dipicu oleh meningkatnya biaya lindung nilai (hedging) atas dolar AS yang kini mencapai dua digit. Perusahaan-perusahaan asuransi jiwa Taiwan, yang mengelola aset dalam mata uang asing senilai lebih dari US$700 miliar, mulai mengurangi eksposur mereka terhadap dolar karena risiko dan biaya yang tinggi.

Fenomena ini menunjukkan bahwa de-dollarization tidak lagi sekadar wacana, melainkan menjadi kebutuhan strategis di tengah ketidakpastian ekonomi global dan tingginya volatilitas pasar valuta asing.

Dampak Global dan Prospek ke Depan

Tren de-dollarization bukanlah fenomena baru. Gelombang pertama dimulai pada 2014 ketika Rusia mulai menjual kepemilikan obligasi AS sebagai respons atas sanksi terkait krisis Crimea. Kini, langkah serupa diambil oleh Tiongkok, India, dan berbagai negara di Asia Tenggara. Selain mendorong penggunaan mata uang lokal, negara-negara ini juga meningkatkan perdagangan dengan sistem barter, digital currency, dan platform keuangan alternatif berbasis blockchain.

Dampak jangka panjang dari tren ini diperkirakan akan menggeser tatanan keuangan global dari sistem unipolar berbasis dolar menuju sistem multipolar, di mana tidak ada satu mata uang yang mendominasi secara absolut. Hal ini akan menciptakan dinamika baru dalam geopolitik dan ekonomi global, serta memperkuat posisi Asia sebagai pusat pertumbuhan baru dunia.

More from author

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Related posts

Advertismentspot_img

Latest posts

Kemenangan Bersejarah Chelsea FC 2025 Dirayakan BingX Lewat Kampanye Global Kripto

BingX, platform pertukaran kripto terkemuka dan perusahaan Web3 AI, dengan bangga mengucapkan selamat kepada Chelsea Football Club atas kemenangan bersejarah mereka di Piala Dunia...

Pasokan Bitcoin Semakin Menipis, Strategi Akuisisi MicroStrategy Diprediksi Picu Supply Shock

Pasokan Bitcoin yang terus menyusut dan meningkatnya akumulasi oleh institusi besar seperti MicroStrategy memicu kekhawatiran akan terjadinya supply shock, yang dapat mendorong lonjakan harga...

Veda Kantongi Pendanaan $18 Juta untuk Bangun Platform DeFi Vault Berbasis Yield

Protokol keuangan terdesentralisasi (DeFi) Veda berhasil meraih pendanaan senilai $18 juta untuk mengembangkan infrastruktur vault hasil (yield vault) lintas blockchain. Putaran pendanaan ini dipimpin...

Want to stay up to date with the latest news?

We would love to hear from you! Please fill in your details and we will stay in touch. It's that simple!